Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat bahwa sebagian besar Industri Kecil Menengah (IKM) sektor pangan di luar Pulau Jawa enggan mengadopsi teknologi baru. Menurut Kemenperin, hal ini disebabkan oleh keterpautan pelaku usaha pada pola pikir tradisional yang sudah terakar kuat.
Direktur IKM Pangan, Furnitur, dan Bahan Bangunan Kemenperin, Yedi Sabaryadi, menjelaskan dalam konferensi pers bahwa upaya pengadopsian teknologi tinggi untuk meningkatkan daya saing IKM membutuhkan perubahan mindset yang signifikan di kalangan pelaku industri daerah.
"Kami berusaha mendampingi IKM untuk mengadopsi teknologi tinggi, namun kami menyadari bahwa ini bukanlah hal yang mudah mengingat budaya tradisional yang masih melekat kuat pada para pelaku IKM," ujar Yedi di Kemenperin, (14/6).
Yedi menambahkan bahwa banyak pelaku IKM yang masih percaya bahwa bisnis mereka dapat berjalan dengan baik menggunakan cara-cara tradisional tanpa perlu beralih ke teknologi tinggi.
"Namun, kami bertanggung jawab untuk membantu IKM agar dapat meningkatkan kualitasnya melalui penggunaan teknologi modern," tambahnya.
Yedi juga menyampaikan bahwa meskipun sudah ada beberapa contoh sukses IKM yang berhasil meningkatkan kualitasnya dengan teknologi tinggi, terutama di kalangan generasi muda, namun masih dibutuhkan dorongan lebih lanjut untuk melibatkan lebih banyak pelaku IKM dalam transformasi teknologi.
Menurut paparan Yedi, jumlah IKM di Indonesia mencapai 4,4 juta unit atau sekitar 99,52 persen dari total unit usaha industri nasional. Kriteria untuk IKM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 yang mengatur tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
IKM kategori kecil memiliki modal usaha hingga Rp5 miliar dan hasil penjualan maksimal Rp15 miliar, sementara IKM menengah memiliki modal usaha hingga Rp10 miliar dengan hasil penjualan antara Rp15 miliar hingga Rp50 miliar.