Portalandalas.com - Plt Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin, mengungkapkan bahwa biaya pemungutan suara ulang (PSU) untuk Pemilu DPD RI di Daerah Pemilihan Sumatera Barat (Sumbar) mencapai anggaran yang sangat besar, yakni mencapai Rp 350 miliar. Pernyataan ini disampaikan dalam konteks penyelesaian proses demokrasi yang memadai, meskipun dihadapkan pada tantangan besar.
Afifuddin menegaskan bahwa PSU di Sumbar melibatkan 17.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS), dengan kondisi yang menuntut respons cepat meski dihadapkan pada berbagai kesulitan logistik, termasuk kejadian hilang kontak dengan kapal yang mengangkut logistik PSU ke wilayah Mentawai. Meskipun demikian, KPU telah bekerja keras untuk memastikan proses pemungutan suara berjalan lancar dalam batas waktu yang terbatas.
Sebelumnya, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, telah mengingatkan KPU RI untuk mempertimbangkan kebijakan penghematan anggaran dalam pelaksanaan PSU, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA). Bagja menyoroti urgensi untuk mengikuti kebijakan yang mempertimbangkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara efisien.
Bagja menjelaskan bahwa biaya PSU di Sumatera Barat yang mencapai Rp 350 miliar untuk 17.569 TPS tersebar di 19 kabupaten/kota, menunjukkan tantangan besar dalam pengelolaan dan pengawasan anggaran publik. Dia juga mengingatkan bahwa keputusan untuk melaksanakan PSU ini terkait dengan gugatan yang diajukan oleh Irman Gusman, yang akhirnya diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Irman Gusman menggugat KPU atas ketidakpatuhan terhadap putusan MA yang mengatur masa jeda 5 tahun bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Meskipun ada rekomendasi untuk merevisi peraturan KPU (PKPU) sesuai dengan putusan MK, KPU tidak melakukannya sebelum tahapan pencalonan berakhir.
Bagja menekankan pentingnya KPU untuk segera menetapkan PKPU yang sesuai dengan putusan MA terkait syarat calon kepala daerah, demi menghindari potensi PSU tambahan yang bisa mengganggu proses demokrasi dan menguras anggaran negara.

