Wisuda PAUD dan TK: Antara Tradisi Semu dan Beban yang Tak Perlu

Menu Atas

Wisuda PAUD dan TK: Antara Tradisi Semu dan Beban yang Tak Perlu

Portal Andalas
Rabu, 07 Mei 2025
Bagikan:


Portalandalas.com -
Beberapa tahun terakhir, fenomena wisuda bagi anak-anak PAUD dan TK menjadi hal yang sangat umum. Anak-anak usia dini berdandan dengan toga, berjalan dengan iringan musik klasik, lalu menerima "ijazah" di panggung—lengkap dengan sesi foto profesional, dekorasi mewah, hingga sewa gedung berpendingin ruangan. Semua tampak meriah, semua tampak bahagia.

Namun di balik gemerlap itu, ada pertanyaan mendasar yang jarang ditanyakan: apa sebenarnya tujuan dari wisuda ini? Apakah benar anak usia 4–6 tahun memahami makna prosesi kelulusan? Dan apakah ini benar-benar penting atau justru hanya formalitas kosong yang dibebani makna oleh orang dewasa?

Artikel ini akan mengupas secara kritis: mengapa wisuda anak PAUD dan TK bukan hanya tidak penting, tapi juga bisa menjadi praktik yang perlu dievaluasi secara serius—baik dari sisi esensi pendidikan anak usia dini, beban psikologis, hingga tekanan sosial-ekonomi terhadap orang tua.

1. Anak Tidak Memahami Konsep Wisuda

Anak-anak usia PAUD dan TK berada dalam tahap perkembangan kognitif yang sangat awal. Dalam fase ini, mereka baru mulai belajar mengenali emosi, simbol, dan peristiwa sosial. Konsep abstrak seperti "kelulusan", "perayaan pencapaian akademik", atau "transisi formal antar jenjang" belum mampu dipahami dengan utuh.

Bagi anak-anak, prosesi wisuda hanyalah "pesta", bukan bentuk apresiasi terhadap capaian belajar. Mereka berdiri di panggung bukan karena menyadari makna simbolisnya, tetapi karena disuruh guru dan orang tua. Mereka tidak sadar telah "lulus", karena pada dasarnya mereka tidak pernah benar-benar "bersekolah" dalam arti akademik seperti jenjang formal di atasnya.

Jika begitu, siapa sebenarnya yang merayakan wisuda ini? Jawabannya: orang dewasa.

2. Perayaan yang Lebih Memuaskan Ego Orang Tua

Tak bisa dipungkiri, banyak orang tua merasa bangga saat melihat anak mereka mengenakan toga. Foto anak dengan toga dan ijazah palsu sering kali dijadikan konten media sosial, sebagai bukti bahwa mereka adalah orang tua yang “berhasil”. Namun, apakah keberhasilan itu benar-benar tercermin dari proses tumbuh kembang anak, atau sekadar dari simbol palsu yang diciptakan sistem?

Wisuda PAUD/TK sering kali lebih berfungsi sebagai alat validasi sosial: pameran pencapaian di depan lingkungan. Ini menciptakan tekanan sosial bagi orang tua lain—yang mungkin tidak ingin mengikuti arus, namun khawatir anaknya "ketinggalan momen". Padahal, anak-anak itu sendiri tidak pernah meminta wisuda.

3. Beban Ekonomi yang Tak Masuk Akal

Di balik seremoni itu, ada biaya yang tidak sedikit. Mulai dari biaya sewa gedung, kostum toga, konsumsi, dekorasi, hingga jasa fotografer profesional. Tidak jarang, sekolah mewajibkan iuran wisuda yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Ini menjadi masalah serius bagi keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Beberapa orang tua merasa terpaksa mengikuti wisuda karena takut anaknya “tersingkir” atau dianggap tidak kompak. Fenomena ini menciptakan ketimpangan baru dalam dunia pendidikan: bahwa bahkan pada usia sangat dini, pendidikan telah menjadi komoditas yang bisa dibeli—bahkan hanya untuk "berpura-pura lulus".

Padahal, esensi pendidikan anak usia dini adalah pembentukan karakter, pengenalan emosi, dan stimulasi tumbuh kembang—bukan perayaan formalitas.

4. Fokus Pendidikan Anak Usia Dini Bukan Pada Hasil, Tapi Proses

Menurut pendekatan pendidikan yang disarankan UNESCO dan berbagai pakar perkembangan anak, PAUD dan TK seharusnya tidak menekankan pencapaian kognitif atau hasil akhir, tetapi lebih pada proses belajar. Anak-anak belajar mengenali dirinya, bersosialisasi, bermain sambil belajar, dan membangun rasa percaya diri. Maka dari itu, membingkai proses PAUD/TK dalam bentuk "wisuda" sama saja dengan menyederhanakan pendidikan menjadi sekadar pencapaian akhir.

Ketika wisuda dijadikan simbol kelulusan, secara tidak langsung kita menanamkan kepada anak-anak bahwa nilai dan pengakuan lebih penting dari proses belajar itu sendiri. Ini bisa membentuk pola pikir yang keliru sejak dini: bahwa pendidikan adalah sesuatu yang harus menghasilkan seremoni, bukan perjalanan yang terus berkembang.

5. Anak Malah Bisa Tertekan Secara Emosional

Bagi sebagian anak, prosesi wisuda bisa jadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Beberapa anak takut tampil di depan umum, menangis saat dipaksa memakai kostum yang tidak nyaman, atau kebingungan di tengah suasana panggung yang ramai. Ini menciptakan pengalaman yang justru bertolak belakang dari prinsip dasar pendidikan anak usia dini, yaitu menyenangkan dan bebas tekanan.

Bukan tidak mungkin anak membawa pengalaman ini sebagai trauma kecil. Di saat yang seharusnya mereka bermain dan merasa aman, mereka justru dipaksa masuk ke dalam ritual yang dibuat-buat, hanya karena orang dewasa ingin "kenang-kenangan".

6. Ada Banyak Alternatif yang Lebih Bermakna

Daripada mengadakan wisuda mewah, sekolah bisa menggelar kegiatan akhir tahun yang lebih sesuai dengan usia anak: misalnya piknik bersama orang tua, pameran karya anak, hari bermain terbuka, atau pertunjukan seni sederhana. Semua ini bisa menjadi cara yang jauh lebih sehat dan edukatif untuk merayakan kebersamaan, kreativitas, dan pertumbuhan anak-anak selama satu tahun.

Kegiatan seperti ini mengajarkan anak nilai kebersamaan, menyenangkan, dan tetap meninggalkan kesan indah tanpa harus meniru prosesi orang dewasa yang mereka belum pahami. Dan yang terpenting: biayanya lebih murah, manfaatnya lebih besar.

7. Normalisasi Ritual Kosmetik di Dunia Pendidikan

Jika praktik seperti wisuda PAUD dan TK terus dibiasakan, maka kita sedang menciptakan generasi yang tumbuh dalam budaya simbolik: seolah-olah belajar itu penting hanya jika bisa difoto, dihargai jika ada upacara, dan dianggap sukses jika diakui secara formal. Kita sedang menanamkan bahwa estetika lebih penting dari makna.

Dalam jangka panjang, ini bisa mengikis semangat belajar sejati, dan menggantikannya dengan semangat "tampil sukses". Kita tidak sedang mendidik anak-anak untuk belajar, tetapi untuk tampil seolah-olah berhasil—bahkan sejak mereka belum tahu cara mengeja namanya sendiri.

Kesimpulan: Evaluasi Tradisi yang Tak Memberdayakan

Bukan berarti kita tidak boleh merayakan perkembangan anak. Justru sebaliknya, setiap capaian anak seharusnya dirayakan dengan hangat dan bermakna. Namun kita perlu bertanya: apakah wisuda PAUD/TK benar-benar menjadi bentuk perayaan anak, atau hanya perayaan orang dewasa?

Jika jawabannya adalah yang kedua, maka saatnya kita berani bersikap kritis. Tidak semua tradisi layak dipertahankan, apalagi jika lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Orang tua, guru, dan penyelenggara sekolah harus mulai menyadari bahwa tugas utama mereka bukan membuat seremoni, tetapi menciptakan pengalaman belajar yang otentik, sehat, dan menyenangkan bagi anak.

Mari tinggalkan kebiasaan kosmetik, dan mulai membangun budaya pendidikan anak usia dini yang benar-benar memanusiakan anak. Karena masa depan mereka bukan ditentukan oleh seberapa indah fotonya di hari wisuda, tetapi oleh seberapa dalam ia merasa dicintai dan dihargai dalam proses belajar yang sesungguhnya.

Baca Juga